Namaku Santi. Usiaku 22 tahun. Cerita ini kualami ketika
aku masih kuliah di salah satu kampus di bilangan Jagakarsa. Ide
menulis cerita ini muncul karena aku merasa bangga berhasil menggaet
cowok idola kampusku. Sungguh. Awalnya aku tidak yakin akan dapat
merasakan kebersamaan dengan Sarif (nama cowok itu). Raut wajahnya yang
mirip Primus serta tubuh tinggi atletis membuatku merasa minder untuk
mendekatinya. Tapi berkat dorongan teman-teman aku berhasil
mendekatinya. Bahkan sempat tinggal satu kost dengan Sarif.
Mulanya
memang sulit mendekati dia. Karena selain Sarif selalu dikelilingi
cewek-cewek cantik, dia juga sering sibuk mengikuti kegiatan organisasi
kampus. Sampai akhirnya kutemukan cara untuk mendekatinya, yaitu
bergabung menjadi anggota organisasi tempat Sarif beraktifitas.
Singkat
cerita, aku berhasil mendapat kesempatan mendekati Sarif pada salah
satu kegiatan pertandingan sepakbola. Kuhampiri dia yang sedang duduk
bersama teman-teman cowoknya, yang kebetulan juga kenal denganku.
Awalnya aku hanya berani berbicara dengan Wahyu, sambil mencuri-curi
pandang ke arah Sarif. Tapi rupanya Wahyu memperhatikan ulahku.
"Heh, San! Aku perhatikan, kamu dari tadi melirik Sarif? Naksir..?" tanya Wahyu.
"Eh.., Nggak.." ujarku gelagapan.
"Iya juga nggak apa-apa." Wahyu menggodaku. "Mau aku kenalin..?"
"Iya.. Eh.. Nggak."
"Rif! Kenalin nih, temen gue, Santi."
Tanpa menunggu persetujuanku Wahyu langsung menarik tangan Sarif dan menuntunnya ke arahku.
Tentu saja aku jadi gelagapan. Tapi karena sudah tidak mungkin lagi menghindar, akhirnya aku menyambut uluran tangan Sarif.
"Sarif," ujarnya singkat, memperkenalkan diri.
"Santi."
Itulah
awal perkenalan kami. Dan ternyata Sarif tipe cowok yang enak di ajak
ngobrol. Sehingga pada hari itu kami langsung terlibat dalam obrolan
santai dan akrab. Dan dari situ pula aku sungguh dibuatnya kagum. Karena
ternyata dia juga tipe cowok yang tidak terlalu mata keranjang. Karena
pada saat ngobrol denganku, dia tidak menggubris cewek-cewek lain yang
mondar-mandir di sekitar kami.
Hari-hari berikutnya kami sering
ketemu di kampus dan ngobrol di warung depan. Cukup lama aku berusaha
mendekati Sarif, tapi belum ada tanda-tanda kalau dia naksir dan
menginginkanku jadi pacarnya. Sampai akhirnya aku mendapat siasat yang
cukup nekat. Sepulang dari kampus, kuajak dia main ke tempat kost.
Hari
itu Sarif masuk kuliah siang. Jadi dia akan keluar kelas sekitar jam
tujuh malam. Aku sengaja menunggu dia di warung yang letaknya tepat di
depan gerbang kampus. Setelah menunggu sekitar satu jam, akhirnya
kulihat Sarif berjalan bersama Wahyu. Kebetulan..! pikirku. Karena Wahyu
pasti bisa diajak kompak. Dan benar saja dugaanku.
"Rif..!" panggilku.
"Eh, Santi. Kok belum pulang..?"
"Aku lagi suntuk. Di tempat kostku lagi sepi." kataku sambil menghampiri Sarif Dan Wahyu.
"Main ke tampat kostku, yuk..?" ajakku nekat.
Memang
malam ini Wirda (teman sekamarku), sedang pulang ke rumah orangtuanya.
Kemudian Oppy dan Cici yang kamarnya terletak di sebelah kamarku juga
sedang pulang ke rumah orangtua mereka. Praktis tinggal aku sendiri di
rumah kost itu.
Awalnya kulihat Sarif agak ragu. Tapi begitu
Wahyu menyetujui, akhirnya Sarif mengiyakan ajakanku. Kami pun berjalan
ke tempat kostku yang memang tidak seberapa jauh dari kampus. Untungnya
rumah tempat aku kost letaknya agak terpencil dan pemiliknya tidak
tinggal di situ. Sehingga tempat kost itu boleh dibilang cukup bebas
dari perhatian orang-orang sekitar.
Sesampainya di kamarku, Sarif
dan Wahyu langsung duduk di karpet yang berseberangan dengan kasur
tempatku tidur. Karena memang aku tidak punya niat membeli kursi dan
sejenisnya untuk mengisi kamar yang hanya sepetak itu. Kubuatkan mereka
kopi. Dan setelah ngobrol ke sana ke sini, sekitar setengah jam dan
setelah menghabiskan kopinya, Wahyu pamit karena dia harus pulang ke
rumah orangtuanya. Mendengar Wahyu pamit, awalnya Sarif juga berniat
pulang. Namun buru-buru kutahan.
"Ya.., aku sendirian, dong..!" rengekku.
"Rif, temenin aku deh, sampai jam sembilan." pintaku sambil menggamit tangan Sarif.
Entah
keberanian dari mana hal ini kulakukan. Mungkin karena aku merasa
siasatku hampir kena. Sayang kalau sampai hasil pancinganku ini lepas
dari kailnya, pikirku.
"Eh Santi, nggak enak dong sama orang-orang. Cewek sama cowok berduaan di kamar." ujar Sarif mencoba bijak.
"Nggak deh. Nggak akan ada yang lihat." aku sedikit memaksa, "Lagi pula cuma sampai jam sembilan."
"Udahlah Rif. Tempat kost kamu kan cuma di gang sebelah." kata Wahyu mendukungku.
"Iya.."
"Ya udah, sampai jam sembilan." Sarif mengalah.
Lalu
Wahyu pun pergi meninggalkan kami berdua di kamar. Cukup lama kami
terdiam, tidak tahu bagaimana harus memulai pembicaraan. Karena tempat
kostku ini letaknya agak terpencil, maka suasana di sekitarnya agak
sepi. Inilah yang menjadi pertimbanganku untuk menjalankan siasat
nekatku ini.
Kulihat Sarif mulai gelisah. Sesekali dia melongok
ke luar. Karena sikapnya itulah akhirnya aku mendapat ide memulai
pembicaraan.
"Kenapa, Rif. Takut ada orang lewat..?" kataku, "Mana
mungkin. Rumah ini, kan, di pojok. Dan ke arah sana nggak ada jalan
tembus," kataku menjelaskan seraya menunjuk ke ujung jalan yang
merupakan jalan buntu.
"Ooh.. gitu," ujarnya singkat, berusaha menenangkan diri, "Terus, yang punya kost tinggalnya di mana?"
"Di Pasar Minggu."
"Kamu kost sendiri?"
"He eh."
Suasana
akhirnya mulai cair kembali. Kami pun mulai terlibat pembicaraan
seputar kampus dan organisasi tempat kami bergabung. Sampai akhirnya aku
mulai mencoba menjalankan siasatku. Kapan lagi, pikirku.
"Rif, aku tinggal sebentar boleh..?" kataku.
"Mau kemana kamu..?"
"Aku mau mandi. Sebentaar aja, boleh..?"
"Iya, deh." Sarif menyetujui permintaanku, walau terlihat ada rasa keberatan di raut wajahnya.
Aku
pun berdiri dan meraih handuk yang tergantung di balik pintu kamar. Dan
hal ini membuat pintu kamar jadi agak menutup sedikit. Kulihat Sarif
meraih majalah usang yang tergelatak di sudut kamar lalu
membolak-baliknya. Melihat sikapnya itu, aku mencoba memberanikan diri.
"Rif, pintunya ditutup aja dulu, ya..?" aku mencoba memancing.
"Ntar nggak kenapa-kenapa..?"
"Nggak."
Nah..!
Umpanku kena. Aku merapatkan pintu dan langsung menguncinya dari dalam.
Mendengar suara kunci, Sarif sempat menoleh ke arahku dengan pandangan
heran. Tapi akhirnya dia kembali tenggelam ke dalam halaman-halaman
majalah.
"Kamu nggak kepengen mandi, Rif..?" aku mencoba memancing lebih dalam.
"Nggak, ah.." ujarnya singkat tanpa melepaskan pandangannya dari majalah.
Aku
mulai nekat. Kulepaskan pakaianku satu persatu. Sarif tetap asyik
dengan majalahnya, sampai akhirnya aku meminta dia mengambilkan karet
pengikat rambut yang tergeletak di sebelahnya."Sorry Rif, tolong
ambilkan karet di sebelahmu itu.." kataku.
Dan pada saat itulah Sarif melongo melihat aku yang sudah tanpa busana sama sekali.
Kulihat tangannya agak bergetar ketika menyorongkan karet yang kumaksud, sambil matanya terus memandangiku.
"Kamu, bener, nggak mau mandi..?" godaku lagi. "Kan, enak, kalau kamu mandi di sini, pulangnya bisa langsung tidur."
Kulihat Sarif benar-benar terperangah menatapku.
"Santi.." hanya itu yang keluar dari bibirnya.
Aku pun merasa bahwa pancinganku sudah mengena.
Kuhampiri
dia, seolah-olah akan mengambil ikat rambut yang kuminta, sampai posisi
tubuhku berada tepat di depannya. Dan karena posisi dia dalam keadaan
duduk, maka wajahnya tepat berada di depan kemaluanku. Kulihat dia agak
gelisah. Kuraih tangannya ketika dia menyorongkan ikat rambutku.
Kudekatkan kemaluanku ke wajahnya yang nampak makin gelisah. Aku tahu
benar kalau dia sebenarnya sudah mulai terserang birahi.
"Yuk, mandi bareng, Rif..!" pintaku seraya kutarik tangannya.
Dia
mulai menurut. Perlahan dia bangkit berdiri dan mulai melepaskan
pakaiannya satu persatu, sementara aku membantu melepaskan celana
jeans-nya. Astaga! Aku terperangah mendapati batang kemaluan Sarif
ternyata berukuran besar. Ternyata benar apa yang sering diceritakan
oleh teman-temanku kalau batang kemaluan orang keturunan Arab itu besar
dan panjang.
Aku sempat berpikir untuk membatalkan siasatku. Tapi
karena terlanjur sudah begini, akhirnya kubiarkan saja keadaan ini
mengalir seperti yang kuinginkan. Toh dia juga tidak merasa terganggu.
Bahkan mungkin dia akan berubah marah jika kegiatan ini dihentikan di
tengah jalan.
Akhirnya, setelah seluruh pakaiannya terlepas dan
terjatuh di lantai, Sarif menarikku ke dalam kamar mandi. Kami tidak
saling berkata-kata. Hanya saling berpandangan. Aku terus saja masih
terpaku pada benda keras dan agak hitam milik Sarif. Tidak bosannya aku
menyentuh barang tersebut, membuat Sarif sesekali meringis. Kami pun
mulai mandi bersama. Awalnya memang kami mandi. Tapi tak lama kemudian
aku benar benar tidak tahan ingin merasakan batang kemaluan Sarif yang
sudah pada ukuran maksimal.
Aku pun mengambil posisi duduk di bak
mandi. Kutarik Sarif agar mendekatiku. Mulanya aku masih berusaha untuk
romantis, tapi rupanya hasratku sudah tidak sabaran lagi. Kutarik
batang kemaluan Sarif dan kuarahkan ke bibir kemaluanku, yang jika saja
tidak sehabis mandi pasti sudah basah teramat sangat. Dari sini aku tahu
kalau dia ternyata belum semahir Wisnu, pacarku. Sarif hanya terpaku,
membiarkan ujung batang kemaluannya menempel di bibir vaginaku.
"Tekan Rif..," ujarku perlahan. "Tapi pelan-pelan dulu. Habis punya kamu gede banget."
Sarif
pun mulai menekan penisnya ke dalam vaginaku. Dan aku merasa sepertinya
vaginaku terdongkrak. Karena Sarif melakukannya dengan tekanan yang
cukup mendadak.
"Aaw.. Aaahh.. Ugh..! Pelan-pelan Rif..!" jeritku menahan sakit.
Karena
ukurannya yang cukup besar itu, vaginaku seperti terisi penuh, sehingga
hampir seluruh bagian dindingnya tersentuh oleh bantang kemaluan Sarif
dan itu memberikan rasa yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
"Eh, sorry San. Sakit ya..?"
"He..
eh. Tapi nggak apa-apa. Terus Rif, mainkan pelan-pelan. Uuh.. Mmhh..
Yess..!" aku terus melenguh tidak karuan merasakan kenikmatan saat Sarif
menggesek-gesekkan batang kemaluannya di dalam vaginaku. Dan sungguh
nikmat. Aku terus meracau tidak karuan merasakan kenikmatan yang selama
ini belum pernah kualami.
Sarif pun mulai mencoba-coba bermain serius. Terkadang,
sambil menggerakkan pantatnya maju mundur, tangan kanannya mulai aktif
bermain di payudaraku, sementara tangan kirinya melingkar di punggungku.
Sesekali Sarif menciumi dan menjilati buah dadaku yang sudah menegang.
"Ugh..
Yeaahh.. Rif.. Enaak.. Kocoknya lebih cepat, Rif..!" pintaku sambil
tanganku yang memegang pantatnya membantu dia menekan ke arahku,
sehingga kemaluannya yang kekar itu semakin dalam tertanam di
kemaluanku.
Cukup lama posisi ini kupertahankan, karena memang
dengan posisi ini aku tidak hanya dapat menikmati batang kemaluannya,
tetapi juga aku dapat memandangi wajah Primus-nya itu. Aku jadi
menghayal kalau saat ini aku memang sedang senggama dengan bintang
sinetron tersebut.
Tiba-tiba Sarif mempercepat gerakkannya.
Pantatnya menghentak-hentak dengan keras membuat kemaluannya seperti
menghujam jantungku. Tentu saja aku jadi kaget dibuatnya. Sampai
terengah-engah. Bahkan sesekali aku menjerit perlahan menahan sakit yang
disertai denyutan nikmat. Tiba-tiba seluruh tubuhku mengejang. Kutarik
tubuh Sarif semakin dalam dan erat. Kakiku yang menggantung di pinggir
bak mandi menghentak-hentak. Pandangan mataku sejenak menjadi gelap.
Lalu di bagian bawah tubuhku terasa seperti merekah kemudian aku seperti
terasa ingin pipis sekali.
Akhirnya.., serr.. serr.. serr..
Vaginaku menyemburkan cairan lendir dengan jumlah sangat mengagumkan.
Sampai-sampai keluar dari sela-sela bibir kemaluanku yang masih
tersumpal batang kemaluan Sarif. Tubuhku pun serta-merta menjadi lemas.
Mendapati tubuhku lemas, Sarif menggendongku dengan batang kemaluan yang
masih tertanam di vaginaku. Kemudian dia meletakkanku di tempat tidur
dengan keadaan telentang, karena memang batang kemaluannya masih
tertancap di kemaluanku.
Pelan-pelan dia mulai menggoyangkan
pantatnya lagi, maju mundur. Dan dalam keadaan lemas aku masih merasakan
ngilu yang bukan kepalang di bagian bawah tubuhku. Tapi ngilu yang
kurasakan ini bukannya ngilu biasa, tetapi ngilu yang nikmat. Hampir
setengah jam Sarif bermain di atas tubuhku yang sudah lemas. Bahkan aku
sempat dua kali lagi mencapai orgasme. Beberapa kali dia memutar
tubuhku. Dihantamnya tubuhku dengan posisi telungkup, menyamping, bahkan
setengah nungging. Sampai akhirnya aku mendengar lenguhan keluar dari
mulutnya.
Batang kemaluan Sarif menyemburkan airmaninya di dalam
kemalauanku. Dan kali ini vaginaku tidak dapat lagi menampung isinya.
Cairan-cairan kental keluar dari vaginaku membanjiri kasur di bawahku.
Aku merasa pantatku seperti terendam. Lalu Sarif pun menggelosorkan
tubuhnya di atas tubuhku dengan peluh yang membanjir, bercampur dengan
keringatku. Tidak lama kemudian kami pun tertidur pulas dengan posisi
saling berpelukan.
Aku tidak tahu berapa lama kami tertidur
dengan posisi tersebut. Aku terbangun karena merasa ada sesuatu yang
bergerak-gerak di bagian bawah tubuhku. Kubuka mataku. Ternyata Sarif
masih berada di atasku. Rupanya dia sudah memulai permainan baru. Dan
sesuatu yang bergerak-gerak di bagian bawah tubuhku adalah rudal milik
Sarif yang mulai aktif kembali bekerja.
Sarif mengembangkan senyumnya ketika aku membuka mataku.
"Hai, San.." katanya singkat.
"Riiff.. Mmhh..," lenguhku seraya melingkarkan tanganku di pinggulnya, membantu dia menggerakkan pantatnya maju-mundur.
"Terus.., Riffsshh..!"
Sarif
memainkan pinggulnya dengan tenang. Begitu pula mulutnya mulai sibuk
menjilati payudaraku. Bergantian kiri dan kanan. Sesekali tangannya
meremas. Atau jarinya memuntir-muntir puting payudaraku yang berwarna
agak kecoklatan membuatku sesekali meringis keasyikan.
Mengimbangi
permainan Sarif, aku membuat gerakan berputar dengan pinggulku. Dan
kudengar Sarif melenguh kenikmatan degan permainan itu.
"Uugh.. Yeesshh.. Enak sekali San.." bisiknya sambil menjilati telingaku, "Kamu pinter banget sih..!"
Aku hanya menjawab dengan lenguhan-lenguhan kenikmatanku.
Kurasakan
vaginaku mulai mengeluarkan carian pelumasnya. Sarif pun semakin aktif.
Tangannya sebentar-sebentar meremas-remas pantatku. Terkadang kedua
tangannya dilingkarkan ke tubuhku, kemudian dengan erat dia menekan
tubuhnya sehingga tubuh kami seperti menyatu dan batang kemaluannya
tertancap amat dalam di kemaluanku. Aku meringis kenikmatan karena ujung
kemaluannya membentur dinding rahimku.
"Ugh.. Ugh.. Arghh.. Hueehh.. Akhh.. Mmhh.. Mmmhh.. Mmhh.. Riff.. Asyik, Rif.."
Birahiku
makin memuncak. Kudorong tubuh Sarif hingga dia telentang dan posisi
berbalik, menjadi aku yang berada di atas. Sarif membiarkan hal itu
berlangsung. Kugenggam batang kemaluannya dan langsung kujilati seluruh
bagiannya, mulai dari ujung hingga ke bagian pangkal dimana terletak
buah kemaluannya. Sarif menggelinjang-gelinjang menikmatinya.
"Saan..! Gila kamu Saan.., ueehh.. uenag betul..!" ceracaunya.
Tangannya
meremas-remas rambutku. Dan sesekali tangannya itu menekan kepalaku
ketika batang kemaluannya kumasukkan ke dalam mulutku untuk
kuhisap-hisap kepalanya dan lubang kemaluannya kucungkil-cungkil dengan
ujung lidahku.
Tidak lama kemudian Sarif memerintahkan aku untuk
berputar, sehingga kami membentuk posisi 69. Lubang kemaluanku tepat
berada di depan wajahnya. Sarif pun mulai memainkan lidahnya di sekitar
bibir kemaluanku, membuat seluruh bulu kudukku merinding. Terlebih lagi
ketika lidahnya menyentuh klitorisku. Tubuhku bergetar seolah-olah
tersengat aliran listrik berkekuatan lembut. Sering pula Sarif
memasukkan lidahnya ke bagian dalam vaginaku dan menjilati dindingnya,
dan hal ini juga membuatku menggigil kenikmatan.
Sungguh
permainan ini sangat mengasyikkan. Sampai akhirnya aku tidak tahan.
Karena tidak lama kemudian tubuhku mengejang. Kutekan pinggulku sedalam
mungkin. Kuyakin hal ini membuat Sarif jadi sulit bernapas. Tapi aku
tidak perduli. Tak lama kemudian vaginaku pun kembali mengeluarkan
cairannya, diiringi lenguhan dari mulutku yang masih tersumpal batang
kemaluan Sarif yang kusedot dengan kuat.
Mendapati aku telah
sampai ke puncak kenikmatanku, Sarif membalikkan tubuhku menjadi
telungkup. Kemudian dengan keyakinan yang mantap dia meletakkan ujung
batang kemaluannya di gerbang kemaluanku yang sudah basah dan licin. Dan
dengan sekali hentakkan.., Bless..! Seluruh batang kemaluannya
tertancap dalam liang senggamaku dari belakang.
"Hegh..! Aaw..! Aargh..! Riiff.. Huahduh..! Saakiit.." erangku cukup keras.
Aku
tidak perduli lagi kalau suaraku itu akan terdengar ke luar kamar. Aku
merasa bagian dalam perutku seperti akan terlonjak keluar dari
kerongkonganku. Bahkan lidahku seakan-akan ingin melompat dari
tenggorokanku. Perutku seolah-olah terasa penuh. Tapi hal ini justru
membuatku semakin merasakan kenikmatan yang teramat sangat.
Sarif
pun sepertinya tidak perduli dengan eranganku. Dia terus
membentur-benturkan ujung kemaluannya ke dinding rahimku dengan
frekuensi tekanan yang rapat dan keras. Aku merasa biji mataku
terbalik-balik dibuatnya. Aku hanya mendesah dan mengeluarkan kata-kata
untuk meminta Sarif mempercepat dan memperkuat gerakannya.
Sarif
menuruti permintaanku. Dia memperkeras gerakkannya, sehingga eranganku
semakin menjadi-jadi. Aku yakin, kalau saja tempat kost ini tidak jauh
dari jalan, pasti sudah banyak orang yang mengintip. Tetapi kalau pun
keadaanya seperti itu, aku sudah tidak perduli. Yang ada dibenakku
hanyalah menikmati kenikmatan ini sepuas-puasnya. Bahkan kalau sampai
ada orang yang mengintip aku akan semakin memperkeras eranganku. Tapi
rupanya hal ini mengganggu Sarif.
"San, jangan keras-keras, dong..! Nanti didengar orang. Pelanin sedikit suara kamu..!" pinta Sarif.
Tapi
aku tidak perduli, sebab aku yakin tidak akan ada orang lewat di depan
kamar kostku. Dan karena aku tidak mengurangi volume suaraku, akhirnya
Sarif mengikuti gayaku. Dia pun mulai mengeluarkan lenguhan-lenguhan
dengan agak keras.
Bosan dengan posisi telungkup, kuangkat
pinggulku tinggi-tinggi, sehingga posisiku menjadi menungging. Dengan
posisi seperti ini kemaluanku menjadi semakin terbuka lebar, sementara
Sarif mengambil posisi berlutut. Kali ini aku benar-benar merasakan
seluruh batang kemaluan Sarif terpendam dalam vaginaku. Eranganku pun
semakin menggila.
Tidak lama kemudian aku kembali merasakan seluruh syarafku menegang. Persendianku meregang sejenak.
Akhirnya.., "Riiff.. Aku.. sampai..!" kembali vaginaku membanjir.
"Aaa.. aakhh..!" jeritku melepas kenikmatan.
Bersamaan
dengan itu, tubuhku menggelosor di kasur. Sementara Sarif masih
meneruskan kegiatannya. Bahkan semangatnya makin menjadi. Kubiarkan saja
dia meneruskan permainan. Karena tenagaku serasa habis terkuras.
Tapi
tidak lama kemudian gerakan Sarif menjadi lebih gila lagi. Diangkatnya
pinggulku hingga aku kembali pada posisi agak tertungging. Kedua
tangannya mencengkeram pangkal pinggulku dan dengan kekuatan yang tidak
kuperhitungkan dia menarik-narik pinggulku diikuti pinggulnya yang
digerakkan berlawanan. Tentu saja hal itu membuat gerakan kami
benar-benar bertemu pada satu titik yang menghasilkan benturan yang
keras, hingga menimbulkan suara Cplak! Cplak! Cplak!
"Aauw.. Riiff.. Gii.. laa.. kaa.. muu..!" rintihku setengah menjerit.
"Sabaar.. San., Aakuu.. maauu saammpaaii..!"
Lalu.., "Sroot..! Serr.. Serr.. Serr.." keluarlah cairan kental tubuhnya menggenangi liang kemaluanku yang juga basah.
Sarif
menekan batang kemaluannya dalam-dalam ke liang senggamaku sambil
tangannya menekan pinggulku ke arah kemaluannya kuat-kuat. Aku yakin
seluruh batang kemaluannya tertanam dalam vaginaku. Lidahku bahkan
sempat terdongkrak keluar dari tempatnya. Mataku terbeliak seakan ingin
lepas dari tempatnya.
Tubuh Sarif mengejang sesaat. Lalu
menggelosor di sebelahku. Napasnya memburu. Tubuhnya dibasahi keringat.
Begitu juga aku. Seluruh persendianku seperti terlepas dari rangkaiannya
dan hanya dapat terdiam sambil mengembangkan senyum yang dibalas oleh
Sarif. Perlahan kuangkat tanganku dan kurangkul dia.
"Kamu hebat, Rif," bisikku yang hampir tidak terdengar.
"Kamu juga..," jawab Sarif.
Lalu kami terdiam dan tertidur.
Apa
yang menjadi angan-anganku selama ini sudah terlaksana, aku menjadi
pacarnya. Kehidupan kami selanjutnya adalah rutinnya kami menjalani masa
pacaran kami dengan kegiatan seks kami. Semoga apa yang kualami ini
memberikan gambaran tersendiri bagi anda, wanita yang mendambakan pria
idamannya. Kalau anda mau berusaha, pasti ada jalan keluarnya.
TAMAT