Sunday, September 22, 2013

Adult Story : Romantika Kamar Kos

 Romantika Kamar Kost


Namaku Santi. Usiaku 22 tahun. Cerita ini kualami ketika aku masih kuliah di salah satu kampus di bilangan Jagakarsa. Ide menulis cerita ini muncul karena aku merasa bangga berhasil menggaet cowok idola kampusku. Sungguh. Awalnya aku tidak yakin akan dapat merasakan kebersamaan dengan Sarif (nama cowok itu). Raut wajahnya yang mirip Primus serta tubuh tinggi atletis membuatku merasa minder untuk mendekatinya. Tapi berkat dorongan teman-teman aku berhasil mendekatinya. Bahkan sempat tinggal satu kost dengan Sarif.

Mulanya memang sulit mendekati dia. Karena selain Sarif selalu dikelilingi cewek-cewek cantik, dia juga sering sibuk mengikuti kegiatan organisasi kampus. Sampai akhirnya kutemukan cara untuk mendekatinya, yaitu bergabung menjadi anggota organisasi tempat Sarif beraktifitas.

Singkat cerita, aku berhasil mendapat kesempatan mendekati Sarif pada salah satu kegiatan pertandingan sepakbola. Kuhampiri dia yang sedang duduk bersama teman-teman cowoknya, yang kebetulan juga kenal denganku. Awalnya aku hanya berani berbicara dengan Wahyu, sambil mencuri-curi pandang ke arah Sarif. Tapi rupanya Wahyu memperhatikan ulahku.

"Heh, San! Aku perhatikan, kamu dari tadi melirik Sarif? Naksir..?" tanya Wahyu.
"Eh.., Nggak.." ujarku gelagapan.
"Iya juga nggak apa-apa." Wahyu menggodaku. "Mau aku kenalin..?"
"Iya.. Eh.. Nggak."
"Rif! Kenalin nih, temen gue, Santi."
Tanpa menunggu persetujuanku Wahyu langsung menarik tangan Sarif dan menuntunnya ke arahku.

Tentu saja aku jadi gelagapan. Tapi karena sudah tidak mungkin lagi menghindar, akhirnya aku menyambut uluran tangan Sarif.
"Sarif," ujarnya singkat, memperkenalkan diri.
"Santi."

Itulah awal perkenalan kami. Dan ternyata Sarif tipe cowok yang enak di ajak ngobrol. Sehingga pada hari itu kami langsung terlibat dalam obrolan santai dan akrab. Dan dari situ pula aku sungguh dibuatnya kagum. Karena ternyata dia juga tipe cowok yang tidak terlalu mata keranjang. Karena pada saat ngobrol denganku, dia tidak menggubris cewek-cewek lain yang mondar-mandir di sekitar kami.

Hari-hari berikutnya kami sering ketemu di kampus dan ngobrol di warung depan. Cukup lama aku berusaha mendekati Sarif, tapi belum ada tanda-tanda kalau dia naksir dan menginginkanku jadi pacarnya. Sampai akhirnya aku mendapat siasat yang cukup nekat. Sepulang dari kampus, kuajak dia main ke tempat kost.

Hari itu Sarif masuk kuliah siang. Jadi dia akan keluar kelas sekitar jam tujuh malam. Aku sengaja menunggu dia di warung yang letaknya tepat di depan gerbang kampus. Setelah menunggu sekitar satu jam, akhirnya kulihat Sarif berjalan bersama Wahyu. Kebetulan..! pikirku. Karena Wahyu pasti bisa diajak kompak. Dan benar saja dugaanku.

"Rif..!" panggilku.
"Eh, Santi. Kok belum pulang..?"
"Aku lagi suntuk. Di tempat kostku lagi sepi." kataku sambil menghampiri Sarif Dan Wahyu.
"Main ke tampat kostku, yuk..?" ajakku nekat.
Memang malam ini Wirda (teman sekamarku), sedang pulang ke rumah orangtuanya. Kemudian Oppy dan Cici yang kamarnya terletak di sebelah kamarku juga sedang pulang ke rumah orangtua mereka. Praktis tinggal aku sendiri di rumah kost itu.

Awalnya kulihat Sarif agak ragu. Tapi begitu Wahyu menyetujui, akhirnya Sarif mengiyakan ajakanku. Kami pun berjalan ke tempat kostku yang memang tidak seberapa jauh dari kampus. Untungnya rumah tempat aku kost letaknya agak terpencil dan pemiliknya tidak tinggal di situ. Sehingga tempat kost itu boleh dibilang cukup bebas dari perhatian orang-orang sekitar.

Sesampainya di kamarku, Sarif dan Wahyu langsung duduk di karpet yang berseberangan dengan kasur tempatku tidur. Karena memang aku tidak punya niat membeli kursi dan sejenisnya untuk mengisi kamar yang hanya sepetak itu. Kubuatkan mereka kopi. Dan setelah ngobrol ke sana ke sini, sekitar setengah jam dan setelah menghabiskan kopinya, Wahyu pamit karena dia harus pulang ke rumah orangtuanya. Mendengar Wahyu pamit, awalnya Sarif juga berniat pulang. Namun buru-buru kutahan.

"Ya.., aku sendirian, dong..!" rengekku.
"Rif, temenin aku deh, sampai jam sembilan." pintaku sambil menggamit tangan Sarif.
Entah keberanian dari mana hal ini kulakukan. Mungkin karena aku merasa siasatku hampir kena. Sayang kalau sampai hasil pancinganku ini lepas dari kailnya, pikirku.

"Eh Santi, nggak enak dong sama orang-orang. Cewek sama cowok berduaan di kamar." ujar Sarif mencoba bijak.
"Nggak deh. Nggak akan ada yang lihat." aku sedikit memaksa, "Lagi pula cuma sampai jam sembilan."
"Udahlah Rif. Tempat kost kamu kan cuma di gang sebelah." kata Wahyu mendukungku.
"Iya.."
"Ya udah, sampai jam sembilan." Sarif mengalah.

Lalu Wahyu pun pergi meninggalkan kami berdua di kamar. Cukup lama kami terdiam, tidak tahu bagaimana harus memulai pembicaraan. Karena tempat kostku ini letaknya agak terpencil, maka suasana di sekitarnya agak sepi. Inilah yang menjadi pertimbanganku untuk menjalankan siasat nekatku ini.

Kulihat Sarif mulai gelisah. Sesekali dia melongok ke luar. Karena sikapnya itulah akhirnya aku mendapat ide memulai pembicaraan.
"Kenapa, Rif. Takut ada orang lewat..?" kataku, "Mana mungkin. Rumah ini, kan, di pojok. Dan ke arah sana nggak ada jalan tembus," kataku menjelaskan seraya menunjuk ke ujung jalan yang merupakan jalan buntu.
"Ooh.. gitu," ujarnya singkat, berusaha menenangkan diri, "Terus, yang punya kost tinggalnya di mana?"
"Di Pasar Minggu."
"Kamu kost sendiri?"
"He eh."

Suasana akhirnya mulai cair kembali. Kami pun mulai terlibat pembicaraan seputar kampus dan organisasi tempat kami bergabung. Sampai akhirnya aku mulai mencoba menjalankan siasatku. Kapan lagi, pikirku.

"Rif, aku tinggal sebentar boleh..?" kataku.
"Mau kemana kamu..?"
"Aku mau mandi. Sebentaar aja, boleh..?"
"Iya, deh." Sarif menyetujui permintaanku, walau terlihat ada rasa keberatan di raut wajahnya.
Aku pun berdiri dan meraih handuk yang tergantung di balik pintu kamar. Dan hal ini membuat pintu kamar jadi agak menutup sedikit. Kulihat Sarif meraih majalah usang yang tergelatak di sudut kamar lalu membolak-baliknya. Melihat sikapnya itu, aku mencoba memberanikan diri.

"Rif, pintunya ditutup aja dulu, ya..?" aku mencoba memancing.
"Ntar nggak kenapa-kenapa..?"
"Nggak."
Nah..! Umpanku kena. Aku merapatkan pintu dan langsung menguncinya dari dalam. Mendengar suara kunci, Sarif sempat menoleh ke arahku dengan pandangan heran. Tapi akhirnya dia kembali tenggelam ke dalam halaman-halaman majalah.

"Kamu nggak kepengen mandi, Rif..?" aku mencoba memancing lebih dalam.
"Nggak, ah.." ujarnya singkat tanpa melepaskan pandangannya dari majalah.
Aku mulai nekat. Kulepaskan pakaianku satu persatu. Sarif tetap asyik dengan majalahnya, sampai akhirnya aku meminta dia mengambilkan karet pengikat rambut yang tergeletak di sebelahnya."Sorry Rif, tolong ambilkan karet di sebelahmu itu.." kataku.
Dan pada saat itulah Sarif melongo melihat aku yang sudah tanpa busana sama sekali.

Kulihat tangannya agak bergetar ketika menyorongkan karet yang kumaksud, sambil matanya terus memandangiku.
"Kamu, bener, nggak mau mandi..?" godaku lagi. "Kan, enak, kalau kamu mandi di sini, pulangnya bisa langsung tidur."
Kulihat Sarif benar-benar terperangah menatapku.
"Santi.." hanya itu yang keluar dari bibirnya.
Aku pun merasa bahwa pancinganku sudah mengena.

Kuhampiri dia, seolah-olah akan mengambil ikat rambut yang kuminta, sampai posisi tubuhku berada tepat di depannya. Dan karena posisi dia dalam keadaan duduk, maka wajahnya tepat berada di depan kemaluanku. Kulihat dia agak gelisah. Kuraih tangannya ketika dia menyorongkan ikat rambutku. Kudekatkan kemaluanku ke wajahnya yang nampak makin gelisah. Aku tahu benar kalau dia sebenarnya sudah mulai terserang birahi.

"Yuk, mandi bareng, Rif..!" pintaku seraya kutarik tangannya.
Dia mulai menurut. Perlahan dia bangkit berdiri dan mulai melepaskan pakaiannya satu persatu, sementara aku membantu melepaskan celana jeans-nya. Astaga! Aku terperangah mendapati batang kemaluan Sarif ternyata berukuran besar. Ternyata benar apa yang sering diceritakan oleh teman-temanku kalau batang kemaluan orang keturunan Arab itu besar dan panjang.

Aku sempat berpikir untuk membatalkan siasatku. Tapi karena terlanjur sudah begini, akhirnya kubiarkan saja keadaan ini mengalir seperti yang kuinginkan. Toh dia juga tidak merasa terganggu. Bahkan mungkin dia akan berubah marah jika kegiatan ini dihentikan di tengah jalan.

Akhirnya, setelah seluruh pakaiannya terlepas dan terjatuh di lantai, Sarif menarikku ke dalam kamar mandi. Kami tidak saling berkata-kata. Hanya saling berpandangan. Aku terus saja masih terpaku pada benda keras dan agak hitam milik Sarif. Tidak bosannya aku menyentuh barang tersebut, membuat Sarif sesekali meringis. Kami pun mulai mandi bersama. Awalnya memang kami mandi. Tapi tak lama kemudian aku benar benar tidak tahan ingin merasakan batang kemaluan Sarif yang sudah pada ukuran maksimal.

Aku pun mengambil posisi duduk di bak mandi. Kutarik Sarif agar mendekatiku. Mulanya aku masih berusaha untuk romantis, tapi rupanya hasratku sudah tidak sabaran lagi. Kutarik batang kemaluan Sarif dan kuarahkan ke bibir kemaluanku, yang jika saja tidak sehabis mandi pasti sudah basah teramat sangat. Dari sini aku tahu kalau dia ternyata belum semahir Wisnu, pacarku. Sarif hanya terpaku, membiarkan ujung batang kemaluannya menempel di bibir vaginaku.

"Tekan Rif..," ujarku perlahan. "Tapi pelan-pelan dulu. Habis punya kamu gede banget."
Sarif pun mulai menekan penisnya ke dalam vaginaku. Dan aku merasa sepertinya vaginaku terdongkrak. Karena Sarif melakukannya dengan tekanan yang cukup mendadak.
"Aaw.. Aaahh.. Ugh..! Pelan-pelan Rif..!" jeritku menahan sakit.
Karena ukurannya yang cukup besar itu, vaginaku seperti terisi penuh, sehingga hampir seluruh bagian dindingnya tersentuh oleh bantang kemaluan Sarif dan itu memberikan rasa yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

"Eh, sorry San. Sakit ya..?"
"He.. eh. Tapi nggak apa-apa. Terus Rif, mainkan pelan-pelan. Uuh.. Mmhh.. Yess..!" aku terus melenguh tidak karuan merasakan kenikmatan saat Sarif menggesek-gesekkan batang kemaluannya di dalam vaginaku. Dan sungguh nikmat. Aku terus meracau tidak karuan merasakan kenikmatan yang selama ini belum pernah kualami.

Sarif pun mulai mencoba-coba bermain serius. Terkadang, sambil menggerakkan pantatnya maju mundur, tangan kanannya mulai aktif bermain di payudaraku, sementara tangan kirinya melingkar di punggungku. Sesekali Sarif menciumi dan menjilati buah dadaku yang sudah menegang.
"Ugh.. Yeaahh.. Rif.. Enaak.. Kocoknya lebih cepat, Rif..!" pintaku sambil tanganku yang memegang pantatnya membantu dia menekan ke arahku, sehingga kemaluannya yang kekar itu semakin dalam tertanam di kemaluanku.

Cukup lama posisi ini kupertahankan, karena memang dengan posisi ini aku tidak hanya dapat menikmati batang kemaluannya, tetapi juga aku dapat memandangi wajah Primus-nya itu. Aku jadi menghayal kalau saat ini aku memang sedang senggama dengan bintang sinetron tersebut.

Tiba-tiba Sarif mempercepat gerakkannya. Pantatnya menghentak-hentak dengan keras membuat kemaluannya seperti menghujam jantungku. Tentu saja aku jadi kaget dibuatnya. Sampai terengah-engah. Bahkan sesekali aku menjerit perlahan menahan sakit yang disertai denyutan nikmat. Tiba-tiba seluruh tubuhku mengejang. Kutarik tubuh Sarif semakin dalam dan erat. Kakiku yang menggantung di pinggir bak mandi menghentak-hentak. Pandangan mataku sejenak menjadi gelap. Lalu di bagian bawah tubuhku terasa seperti merekah kemudian aku seperti terasa ingin pipis sekali.

Akhirnya.., serr.. serr.. serr.. Vaginaku menyemburkan cairan lendir dengan jumlah sangat mengagumkan. Sampai-sampai keluar dari sela-sela bibir kemaluanku yang masih tersumpal batang kemaluan Sarif. Tubuhku pun serta-merta menjadi lemas. Mendapati tubuhku lemas, Sarif menggendongku dengan batang kemaluan yang masih tertanam di vaginaku. Kemudian dia meletakkanku di tempat tidur dengan keadaan telentang, karena memang batang kemaluannya masih tertancap di kemaluanku.

Pelan-pelan dia mulai menggoyangkan pantatnya lagi, maju mundur. Dan dalam keadaan lemas aku masih merasakan ngilu yang bukan kepalang di bagian bawah tubuhku. Tapi ngilu yang kurasakan ini bukannya ngilu biasa, tetapi ngilu yang nikmat. Hampir setengah jam Sarif bermain di atas tubuhku yang sudah lemas. Bahkan aku sempat dua kali lagi mencapai orgasme. Beberapa kali dia memutar tubuhku. Dihantamnya tubuhku dengan posisi telungkup, menyamping, bahkan setengah nungging. Sampai akhirnya aku mendengar lenguhan keluar dari mulutnya.

Batang kemaluan Sarif menyemburkan airmaninya di dalam kemalauanku. Dan kali ini vaginaku tidak dapat lagi menampung isinya. Cairan-cairan kental keluar dari vaginaku membanjiri kasur di bawahku. Aku merasa pantatku seperti terendam. Lalu Sarif pun menggelosorkan tubuhnya di atas tubuhku dengan peluh yang membanjir, bercampur dengan keringatku. Tidak lama kemudian kami pun tertidur pulas dengan posisi saling berpelukan.

Aku tidak tahu berapa lama kami tertidur dengan posisi tersebut. Aku terbangun karena merasa ada sesuatu yang bergerak-gerak di bagian bawah tubuhku. Kubuka mataku. Ternyata Sarif masih berada di atasku. Rupanya dia sudah memulai permainan baru. Dan sesuatu yang bergerak-gerak di bagian bawah tubuhku adalah rudal milik Sarif yang mulai aktif kembali bekerja.

Sarif mengembangkan senyumnya ketika aku membuka mataku.
"Hai, San.." katanya singkat.
"Riiff.. Mmhh..," lenguhku seraya melingkarkan tanganku di pinggulnya, membantu dia menggerakkan pantatnya maju-mundur.
"Terus.., Riffsshh..!"
Sarif memainkan pinggulnya dengan tenang. Begitu pula mulutnya mulai sibuk menjilati payudaraku. Bergantian kiri dan kanan. Sesekali tangannya meremas. Atau jarinya memuntir-muntir puting payudaraku yang berwarna agak kecoklatan membuatku sesekali meringis keasyikan.

Mengimbangi permainan Sarif, aku membuat gerakan berputar dengan pinggulku. Dan kudengar Sarif melenguh kenikmatan degan permainan itu.
"Uugh.. Yeesshh.. Enak sekali San.." bisiknya sambil menjilati telingaku, "Kamu pinter banget sih..!"
Aku hanya menjawab dengan lenguhan-lenguhan kenikmatanku.

Kurasakan vaginaku mulai mengeluarkan carian pelumasnya. Sarif pun semakin aktif. Tangannya sebentar-sebentar meremas-remas pantatku. Terkadang kedua tangannya dilingkarkan ke tubuhku, kemudian dengan erat dia menekan tubuhnya sehingga tubuh kami seperti menyatu dan batang kemaluannya tertancap amat dalam di kemaluanku. Aku meringis kenikmatan karena ujung kemaluannya membentur dinding rahimku.
"Ugh.. Ugh.. Arghh.. Hueehh.. Akhh.. Mmhh.. Mmmhh.. Mmhh.. Riff.. Asyik, Rif.."

Birahiku makin memuncak. Kudorong tubuh Sarif hingga dia telentang dan posisi berbalik, menjadi aku yang berada di atas. Sarif membiarkan hal itu berlangsung. Kugenggam batang kemaluannya dan langsung kujilati seluruh bagiannya, mulai dari ujung hingga ke bagian pangkal dimana terletak buah kemaluannya. Sarif menggelinjang-gelinjang menikmatinya.

"Saan..! Gila kamu Saan.., ueehh.. uenag betul..!" ceracaunya.
Tangannya meremas-remas rambutku. Dan sesekali tangannya itu menekan kepalaku ketika batang kemaluannya kumasukkan ke dalam mulutku untuk kuhisap-hisap kepalanya dan lubang kemaluannya kucungkil-cungkil dengan ujung lidahku.

Tidak lama kemudian Sarif memerintahkan aku untuk berputar, sehingga kami membentuk posisi 69. Lubang kemaluanku tepat berada di depan wajahnya. Sarif pun mulai memainkan lidahnya di sekitar bibir kemaluanku, membuat seluruh bulu kudukku merinding. Terlebih lagi ketika lidahnya menyentuh klitorisku. Tubuhku bergetar seolah-olah tersengat aliran listrik berkekuatan lembut. Sering pula Sarif memasukkan lidahnya ke bagian dalam vaginaku dan menjilati dindingnya, dan hal ini juga membuatku menggigil kenikmatan.

Sungguh permainan ini sangat mengasyikkan. Sampai akhirnya aku tidak tahan. Karena tidak lama kemudian tubuhku mengejang. Kutekan pinggulku sedalam mungkin. Kuyakin hal ini membuat Sarif jadi sulit bernapas. Tapi aku tidak perduli. Tak lama kemudian vaginaku pun kembali mengeluarkan cairannya, diiringi lenguhan dari mulutku yang masih tersumpal batang kemaluan Sarif yang kusedot dengan kuat.

Mendapati aku telah sampai ke puncak kenikmatanku, Sarif membalikkan tubuhku menjadi telungkup. Kemudian dengan keyakinan yang mantap dia meletakkan ujung batang kemaluannya di gerbang kemaluanku yang sudah basah dan licin. Dan dengan sekali hentakkan.., Bless..! Seluruh batang kemaluannya tertancap dalam liang senggamaku dari belakang.

"Hegh..! Aaw..! Aargh..! Riiff.. Huahduh..! Saakiit.." erangku cukup keras.
Aku tidak perduli lagi kalau suaraku itu akan terdengar ke luar kamar. Aku merasa bagian dalam perutku seperti akan terlonjak keluar dari kerongkonganku. Bahkan lidahku seakan-akan ingin melompat dari tenggorokanku. Perutku seolah-olah terasa penuh. Tapi hal ini justru membuatku semakin merasakan kenikmatan yang teramat sangat.

Sarif pun sepertinya tidak perduli dengan eranganku. Dia terus membentur-benturkan ujung kemaluannya ke dinding rahimku dengan frekuensi tekanan yang rapat dan keras. Aku merasa biji mataku terbalik-balik dibuatnya. Aku hanya mendesah dan mengeluarkan kata-kata untuk meminta Sarif mempercepat dan memperkuat gerakannya.

Sarif menuruti permintaanku. Dia memperkeras gerakkannya, sehingga eranganku semakin menjadi-jadi. Aku yakin, kalau saja tempat kost ini tidak jauh dari jalan, pasti sudah banyak orang yang mengintip. Tetapi kalau pun keadaanya seperti itu, aku sudah tidak perduli. Yang ada dibenakku hanyalah menikmati kenikmatan ini sepuas-puasnya. Bahkan kalau sampai ada orang yang mengintip aku akan semakin memperkeras eranganku. Tapi rupanya hal ini mengganggu Sarif.

"San, jangan keras-keras, dong..! Nanti didengar orang. Pelanin sedikit suara kamu..!" pinta Sarif.
Tapi aku tidak perduli, sebab aku yakin tidak akan ada orang lewat di depan kamar kostku. Dan karena aku tidak mengurangi volume suaraku, akhirnya Sarif mengikuti gayaku. Dia pun mulai mengeluarkan lenguhan-lenguhan dengan agak keras.

Bosan dengan posisi telungkup, kuangkat pinggulku tinggi-tinggi, sehingga posisiku menjadi menungging. Dengan posisi seperti ini kemaluanku menjadi semakin terbuka lebar, sementara Sarif mengambil posisi berlutut. Kali ini aku benar-benar merasakan seluruh batang kemaluan Sarif terpendam dalam vaginaku. Eranganku pun semakin menggila.

Tidak lama kemudian aku kembali merasakan seluruh syarafku menegang. Persendianku meregang sejenak.
Akhirnya.., "Riiff.. Aku.. sampai..!" kembali vaginaku membanjir.
"Aaa.. aakhh..!" jeritku melepas kenikmatan.
Bersamaan dengan itu, tubuhku menggelosor di kasur. Sementara Sarif masih meneruskan kegiatannya. Bahkan semangatnya makin menjadi. Kubiarkan saja dia meneruskan permainan. Karena tenagaku serasa habis terkuras.

Tapi tidak lama kemudian gerakan Sarif menjadi lebih gila lagi. Diangkatnya pinggulku hingga aku kembali pada posisi agak tertungging. Kedua tangannya mencengkeram pangkal pinggulku dan dengan kekuatan yang tidak kuperhitungkan dia menarik-narik pinggulku diikuti pinggulnya yang digerakkan berlawanan. Tentu saja hal itu membuat gerakan kami benar-benar bertemu pada satu titik yang menghasilkan benturan yang keras, hingga menimbulkan suara Cplak! Cplak! Cplak!

"Aauw.. Riiff.. Gii.. laa.. kaa.. muu..!" rintihku setengah menjerit.
"Sabaar.. San., Aakuu.. maauu saammpaaii..!"
Lalu.., "Sroot..! Serr.. Serr.. Serr.." keluarlah cairan kental tubuhnya menggenangi liang kemaluanku yang juga basah.

Sarif menekan batang kemaluannya dalam-dalam ke liang senggamaku sambil tangannya menekan pinggulku ke arah kemaluannya kuat-kuat. Aku yakin seluruh batang kemaluannya tertanam dalam vaginaku. Lidahku bahkan sempat terdongkrak keluar dari tempatnya. Mataku terbeliak seakan ingin lepas dari tempatnya.

Tubuh Sarif mengejang sesaat. Lalu menggelosor di sebelahku. Napasnya memburu. Tubuhnya dibasahi keringat. Begitu juga aku. Seluruh persendianku seperti terlepas dari rangkaiannya dan hanya dapat terdiam sambil mengembangkan senyum yang dibalas oleh Sarif. Perlahan kuangkat tanganku dan kurangkul dia.
"Kamu hebat, Rif," bisikku yang hampir tidak terdengar.
"Kamu juga..," jawab Sarif.
Lalu kami terdiam dan tertidur.

Apa yang menjadi angan-anganku selama ini sudah terlaksana, aku menjadi pacarnya. Kehidupan kami selanjutnya adalah rutinnya kami menjalani masa pacaran kami dengan kegiatan seks kami. Semoga apa yang kualami ini memberikan gambaran tersendiri bagi anda, wanita yang mendambakan pria idamannya. Kalau anda mau berusaha, pasti ada jalan keluarnya.

TAMAT

No comments:

Post a Comment